RKUHP Atur Hukuman Pidana Kerja Sosial
Oleh : Dian Ahadi )*
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan mengubah wajah hukum di Indonesia. Selain memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, RKUHP memberikan alternatif sanksi antara lain kerja sosial.
RKUHP adalah rancangan undang-undang yang sangat terkenal karena sebagian orang menganggapnya kontroversial, karena ada banyak aturan hukum yang dimasukkan di sana. Di antaranya adalah hukuman pidana denda atau kerja sosial, untuk menggantikan kurungan penjara. Masyarakat langsung heboh karena ini sesuai dengan prinsip hukum modern tetapi belum umum dilakukan di Indonesia.
Ahli hukum Prof. Romli Atmasasmita, menyatakan bahwa pada praktiknya, hukuman pidana kerja sosial sering dipakai untuk tindak pidana ringan. Konsep itu yang dianut oleh RKUHP. Dalam RKUHP, disebutkan bahwa seseorang yang kena hukuman pidana penjara maksimal 6 bulan, bisa diganti dengan pidana kerja sosial. Kerja sosial yang dimaksud adalah kerja tidak dibayar, yang dilakukan di Panti sosial, Rumah Sakit, atau Panti Asuhan.
Namun pidana kerja sosial tidak bisa sembarangan karena hakim memiliki banyak pertimbangan. Pertama, pengakuan terdakwa mengenai pidana yang dilakukan. Kedua, kemampuan kerja terdakwa, dan ketiga adalah persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial. Yang keempat adalah riwayat sosial terdakwa, perlindungan keselamatan kerja terdakwa, keyakinan agama dan politik terdakwa, kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
Pelaksanaan pidana kerja sosial juga tidak boleh dikomersilkan alias terdakwa tidak mendapatkan gaji sama sekali saat bekerja. Syarat-syarat dalam hukuman pidana kerja sosial ada cukup banyak, apalagi terdakwa bekerja tanpa mendapatkan gaji, dan ia harus membayar pidana denda yang cukup besar. Jika ada banyak syarat seperti ini maka tidak semua terdakwa mampu melakukannya, apalagi kerja selama berbulan-bulan di Rumah Sakit tanpa digaji sama sekali.
Ketika ada syarat seperti ini maka membuat masyarakat tidak jadi khawatir karena seorang narapidana tidak dikurung dalam lembaga pemasyarakatan, tetapi justru disuruh kerja sosial. Mereka wajib membedakan antara pemberian kebebasan tanpa syarat, dengan hukuman kerja sosial yang syaratnya banyak. Bukan berarti semua narapidana boleh kerja sosial sebagai ganti penjara, karena hanya yang masuk dalam kategori ringan saja.
Terdakwa yang bisa meminta hukuman pidana kerja sosial antara lain yang ancaman hukumannya maksimal 6 bulan penjara, seperti pada kasus tipiring (tindak pidana ringan). Misalnya kasus buang sampah sembarangan, penganiayaan hewan ringan, dan lain-lain. Kasus tipiring hukumannya 3 bulan penjara, sehingga seorang terdakwa bisa mengajukan ke hakim untuk kurungan yang diganti dengan denda dan hukuman pidana kerja sosial.
Pemerintah sudah berlaku adil dalam RKUHP dan tidak mungkin meringankan hukuman. Pidana kerja sosial bukan berarti membebaskan terdakwa begitu saja, karena ia masih harus melakukan kerja sosial. Di luar jam kerja sosial ia masih tetap diawasi oleh hukum dan tidak bisa kabur begitu saja, dan dijamin sangat aman.
Pemberian hukuman kerja sosial dimaksudkan sebagai efek jera dan malu, karena seorang terdakwa melakukan pekerjaan di tempat umum dan dilihat oleh orang lain. Diharap dengan efek jera ini, maka ia akan kapok dan tidak akan mengulangi kesalahannya. Hukuman seperti ini diharap lebih efektif, daripada sekedar kurungan penjara dan justru membuat sensasi ‘ketagihan’. Misalnya ada yang malah suka di sana karena dapat makan gratis.
Kemudian, terdakwa yang boleh meminta hukuman pidana sosial bukanlah residivis, yang sudah mendapatkan hukuman berat (karena kasus pencurian atau pembunuhan). Jadi, hukuman ini tidak akan membuat masyarakat sipil ketakutan, jika ada terdakwa yang berkontak dengan mereka. Jangan dulu membayangkan yang tidak-tidak karena terdakwa tipiring bukan penjahat kelas berat.
Ahli Hukum Mudzakir sekaligus anggota tim penyusun RKUHP, menyatakan bahwa pelsaksanaan hukuman pidana kerja sosial akan melibatkan yayasan yang mengelola panti asuhan, panti jompo, dll. Hukuman ini merupakan restorative justice dan termasuk dalam hukum modern. Di mana hukuman bukan sebagai ajang balas dendam, merupakan sebuah tempat pendidikan sehingga terdakwa bisa menjadi manusia baru (ketika dinyatakan bebas).
Hukuman pidana kerja sosial mengusung mahzab neoklasik yang memperbaiki kepribadian terdakwa, sehingga nanti bisa kembali ke masyarakat (‘dibersihkan’ sehingga ia tidak mengulangi perbuatannya). Adanya hukuman seperti ini juga diberikan karena lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia sudah terlalu penuh, bahkan over kapasitas. Saat over kapasitas maka berbahaya karena bisa menimbulkan gesekan sosial dan hal-hal buruk lain.
Oleh karena itu, masyarakat diharap untuk mendukung aturan hukuman pidana kerja sosial pada RKUHP. Ini memang aturan baru dan jangan dianggap aneh, karena kerja sosial juga melelahkan dan terdakwa tak mendapat gaji sama sekali. Malah ia mendapat efek jera dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahannya di masa depan.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute